KABARLAH.COM, Jakarta – DPR mengusir Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim. Pengusiran terjadi saat Komisi VII DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi Krakatau Steel.
Sebelum pengusiran terjadi, Komisi VII membahas soal proyek Blast Furnace yang dilaksanakanKrakatau Steel.
Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi yang memimpin jalannya rapat berdebat dengan Silmy Karim soal proyek Blast Furnace.
“Pabrik Blast Furnace dihentikan tapi satu sisi ingin memperkuat produksi dalam negeri, ini jangan maling teriak maling,” ujar pimpinan Komisi VII.
Penggunaan istilah maling itupun menimbulkan reaksi dari Silmy. Ia mempertanyakan maksud Bambang menggunakan istilah itu.
“Maksud maling bagaimana?,” katanya.
Mendapat pertanyaan tersebut, Bambang langsung menunjukkan dugaan kasus pemalsuan SNI yang diduga dilakukan oleh pengusaha Kimin Tanoto. Kasus itu katanya sempat ditangani Polda Metro Jaya.
“Kalau dengan cara-cara begini, kasus baja yang ada di Polda Metro, sampai sekarang mana. Kami minta penjelasannya. Itu salah satu anggota anda. Namanya Kimin Tanoto,” sebut Bambang.
Silmy kemudian menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak bisa memberi penjelasan karena ia hadir sebagai Dirut Karakatau Steel.
Pertanyaan itu pun memantik reaksi dari Bambang. Ia menganggap Silmy tak menghargai DPR.
“Ada teknis persidangan, Anda tidak pernah bisa menghargai komisi, Anda keluar,” katanya.
Mendapat pengusiran tersebut, Silmy langsung berkata,” kalau memang harus keluar ya kita keluar,” katanya.
Mendapat jawaban itu, Bambang semakin menjadi.
“Anda merasa hebat. Anda sudah jawab anda pengin keluar, silahkan keluar,” katanya.
Namun, pengusiran akhirnya dibatalkan usai anggota DPR Komisi VII Adian Napitupulu yang menyarankan adanya rapat dengan semua pihak agar seluruh permasalahan impor industri baja dapat diinvestigasi tidak hanya sepihak tapi dari sisi regulator juga.
“Rapat ini belum komplit, kalau rapat ini mau tertutup, panggil pihak-pihak yang lain, misal Kemenkeu, kenapa banyak baja impor yang masuk? Apa yang didapat dari pajak impor, karena semua saling terkait, kita tidak bisa sepihak menyalahkan mereka yang jadi trader, regulator harus dikumpulkan,” ujar Adian.
Blast Furnace merupakan salah satu proyek Krakatau Steel yang sempat memicu polemik. Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu menyebut ada bau korupsi dalam proyek itu.
Pasalnya, proyek membuat utang perusahaan sempat tembus US$2 miliar atau Rp28,4 triliun (asumsi kurs Rp14.200 per dolar AS). Ia menyebut penumpukan utang disebabkan oleh investasi Krakatau Steel di fasilitas blast furnace.
“Krakatau Steel punya utang US$2 miliar. Salah satunya (karena) investasi US$850 juta dari proyek blast furnace yang hari ini mangkrak. Pasti ada indikasi korupsi,” ucap Erick dalam Talkshow Bangkit Bareng, Selasa (28/9).
Masalah sama juga diungkap Roy Maningkas, komisaris Krakatau Steel yang mundur dari jabatannya beberapa waktu lalu.
Menurut pengakuannya, pembangunan pabrik ini hanya akan mendatangkan kerugian bagi Krakatau Steel hingga Rp1,2 triliun per tahun.
Hal tersebut didasarkan pada produksi sebanyak 1,1 juta ton per tahun dan Harga Pokok Produksi (HPP) sebesar US$8,06 per ton.
Tak hanya itu, ia juga mengendus keganjilan di dalam proyek ini. Sebab, pabrik itu rencananya hanya akan beroperasi dua bulan saja sebelum ditidurkan lagi dalam jangka waktu yang tak tentu. Ini justru disebutnya akan menimbulkan kerusakan mesin.
Terlebih, proyek ini juga mundur 72 bulan dan mengalami pembengkakan biaya investasi dari Rp7 triliun menjadi Rp10 triliun. Untuk itu, Roy mengaku telah memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) kepada direksi dan Kementerian BUMN, hanya saja pendapatanya tak pernah digubris.
“Jadi saya akhirnya 11 Juli mengajukan surat permohonan diri dari komisaris Krakatau Steel. Di dalam Whatsapp yang disampaikan oleh Deputi BUMN Fajar Harry Sampoerno, Bu Menteri BUMN (Rini Soemarno) mengatakan beliau tidak puas dengan dissenting opinion tersebut,” kata Roy.
Discussion about this post